Makalah Rahn (gadai) dan Kafalah

MAKALAH TAFSIR AHKAM 
 RAHN & KAFALAH
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Tafsir Ahkam


 

Dosen Pengampu,
Dr. H. Hasan Bisri, M.Ag

Kelompok 14 :
Irna Alfani (1199230)
Muhammad Sulthan Agus Alkaribi (1199230119)


PROGRAM STUDI MANAJEMEN KEUANGAN SYA'RIAH 
FAKULTAS EKONOMI BISNIS 
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI BANDUNG (UIN)
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2020

KATA PENGANTAR

     Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Tafsir Ahkam ini yang berjudul “Ijarah”, makalah ini disusun untuk memenuhi tugas dari Bapak  Ahmad Hasan Ridwan, Dr. H. M.Ag.
     Makalah ini akan menjelaskan mengenai Ijarah dalam perspektif Al-Qur’an yang kami rangkum dari berbagi sumber.
     Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, untuk itu kami mengharapkan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan makalah ini. Untuk itu semoga makalah yang Kami buat ini dapat menjadi dasar dan acuan agar kita menjadi lebih kreatif lagi dalam membuat suatu laporan atau makalah. Mudah mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi kami dan pembaca.









Bandung, 2020










DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... 1
KATA PENGANTAR...................................................................................... 2
DAFTAR ISI..................................................................................................... 3

BAB I  PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah............................................................................ 4
B.    Rumusan Masalah...................................................................................... 4
C.    Tujuan........................................................................................................ 4

BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Rahn dan Kafalah ................................................................... 5
B.    Bunyi Ayat dan Terjemah.......................................................................... 13
C.    Tafsir Mufradhat ....................................................................................... 13
D.    Ashbab Al Nuzul....................................................................................... 14
E.     Hadits yang Terkait dengan Tema............................................................ 15
F.     Rincian Tafsir............................................................................................ 16
G.     Istinbath Ahkam........................................................................................ 16

BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan................................................................................................ 17 
B.    Saran........................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 18



BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH
     Islam agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaedah-kaedah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam ibadah dan juga mu’amalah (hubungan antar makhluk). Setiap orang mesti butuh berinteraksi dengan lainnya untuk saling menutupi kebutuhan dan saling tolong menolong diantara mereka. Karena itulah sangat perlu sekali kita mengetahui aturan islam dalam seluruh sisi kehidupan kita sehari-hari, diantaranya yang bersifat interaksi social dengan sesama manusia, khususnya berkenaan dengan berpindahnya harta dari satu tangan ketangan yang lainnya.
     Hutang piutang terkadang tidak dapat dihindari, padahal banyak bermunculan fenomena ketidakpercayaan diantara manusia, khususnya dizaman kiwari ini. Sehingga orang terdesak untuk meminta jaminan benda atau barang berharga dalam meminjamkan hartanya. Dalam hal jual beli sungguh beragam, bermacam-macam cara orang untuk mencari uang dan salah satunya dengan cara Rahn (gadai). Para ulama berpendapat bahwa gadai boleh dilakukan dan tidak termasuk riba jika memenuhi syarat dan rukunnya.  Akan tetapi banyak sekali orang yang melalaikan masalah tersebut senghingga tidak sedikit dari mereka yang melakukan gadai asal-asalan tampa mengetahui dasar hukum gadai tersebut. Oleh karena itu kami akan mencoba sedikit menjelaskan apa itu gadai dan hukumnya.


B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa pengertian dari Rahn dan Kafalah ?
2. Bagaimana  dasar hukum berlakunya Rahn dan Kafalah?
3. Apa ayat yang berkaitan dengan Rahn dan Kafalah?

C. TUJUAN

1. Untuk mengetahui pengertian Rahn dan Kafalah dari berbagai pandangan.
2. Untuk mengetahui sumber hukum yang mendasari Rahn dan Kafalah.
3. Untuk mengetahui ayat yang berkaitan dengan Rahn dan Kafalah.







BAB II
PEMBAHASAN


A. Pengertian Rahn dan Kafalah

1. Rahn
a. Pengertian 
  Gadai (ar-rahn) menurut bahasa berarti al-tsubut dan al-habs, yaitu penetapan dan penahanan. Adapula yang menjelaskan bahwa rahn adalah terkurung atau terjerat. Secara istilah, rahn adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut ajaran Islam sebagai jaminan utang, sehingga orang yang bersangkutan dapat mengambil piutang atau me-ngambil sebagian manfaat barang itu.  Sedangkan menurut Bank Indonesia, rahn adalah akad penyerahan barang/harta dari nasabah kepada bank sebagai jaminan sebagian atau seluruh utang.
    Secara etimologi, kata ar-rahn berarti tetap, kekal, dan jaminan. Akad Rahn dalam istilah hukum positif disebut dengan barang jaminan. Sedangkan menurut ulama madzhab Maliki, istilah rahn adalah harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat. Objek jaminan dapat berbentuk materi atau manfaat, di mana keduanya merupakan harta menurut jumhur ulama. Benda yang dijadikan barang jaminan tidak harus diserahkan secara aktual, tetapi boleh penyerahannya secara hukum, seperti menjadikan sawah sebagai jaminan, sehingga yang diserahkan adalah sertifikat sawah sebagai surat jaminannya.
    Berbeda dengan definisi tersebut, ulama Syâfi’iyyah dan Hanâbilah berpendapat bahwa ar-rahn adalah menjadikan materi atau barang sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya itu. Definisi ini mengandung pengertian bahwa barang yang boleh dijadikan jaminan utang itu hanya yang bersifat materi, tidak termasuk manfaat sebagaimana yang dikemukakan oleh madzhab Maliki. Barang jaminan ini boleh dijual apabila utang tidak dapat dilunasi dalam waktu yang disepakati kedua belah pihak.







b. Landasan hukum
    Landasan hukum ar-rahn terdapat dalam Q.S Al-Baqarah ayat 283, yang artinya: “Dan jika kamu dalam perjalanan, sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendak-lah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertaqwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, karena barangsiapa menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor (berdosa). Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.“Dalam salah satu hadit} dikisahkan bahwa Aisyah ra. menuturkan: “Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo (kredit) dan beliau mengagunkan baju besinya.” (HR Bukhari dan Muslim). Hadit} lain diriwayatkan dari Anas ra. yang menuturkan: “Sesungguhnya Nabi Shalallahu alaihi wasallam pernah mengagunkan baju besinya di Madinah kepada orang Yahudi, sementara Beliau mengambil gandum dari orang tersebut untuk memenuhi kebutuhan keluarga Beliau.” (HR al-Bukhari).

c. Rukun
    Praktik ar-rahn menjadi sah salah hukum Islam, manakala telah memenuhi beberapa rukun dan syarat berikut
1) Syarat yang terkait dengan orang yang berakad adalah cakap bertindak hukum. Kecakapan bertindak hukum menurut ulama adalah orang yang telah baligh dan berakal (mumayyiz). Sedangkan menurut ulama Hanafiah, kedua belah pihak yang berakad tidak disyaratkan baligh, tetapi cukup berakal saja. Oleh sebab itu, menurut mereka, anak kecil yang mumayyiz boleh melakukan akad rahn, dengan syarat akad yang dilakukan itu mendapatkan persetujuan dari walinya.

2) Syarat kedua adalah shigat (lafal). Ulama Hanafiyah mengatakan dalam akad rahn tidak dikaitkan dnegan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang, karena rahnsama dengan akad jual beli. Apabila akad itu dibarengi dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang, maka syaratnya batal, sedangkan akadnya sah. Ulama Mâlikiyyah, Syâfi’iyyah, dan Hanâbilah mengatakan, apabila syarat itu adalah syarat yang mendukung kelancaran akad itu, maka syarat itu diperbolehkan. Tetapi apabila syarat itu bertentangan dengan tabiat akad ar-rahn, maka syaratnya batal. Kedua syarat di atas termasuk syarat yang tidak sesuai dengan akad rahn, karenaya syarat itu dinyatakan batal. Syarat yang dibolehkan itu, misalnya, untuk sahnyaar-rahn itu, pihak pemberi utang minta agar akad itu disaksikan oleh dua orang saksi. Sedangkan syarat yang batal, misalnya, disyaratkan bahwa agunan itu tidak boleh dijual ketika ar-rahn itu jatuh tempo dan orang yang berutang tidak mampu membayarnya.

3) Syarat al-marhum bihi (utang), adalah: 
a) merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada orang tempat ia berutang; 
b) utang itu boleh dilunasi dengan agunan itu dan (utang itu jelas dan tertentu).

4) Syarat al-marhun (barang yang dijadikan jaminan), adalah:
a) barang jaminan itu boleh dijual dan nilainya seimbang dengan utang; 
b) barang jaminan itu bernilai dan dapat dimanfaatkan;  
c) barang jaminan itu jelas dan tertentu
d) barang itu milik sah orang yang berutang; 
e) barang jaminan tidak terkait dengan hak orang lain; 
f) barang jaminan itu merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran 

    Dalam beberapa tempat, dan barang jaminan boleh diserahkan baik materi maupun manfaatnya. Para ulama fiqh menyatakan bahwa ar-rahn itu baru dianggap sempurna apabila barang yang digadaikan itu secara hukum sudah berada di tangan pemberi utang, dan uang yang dibutuhkan telah diterima peminjam uang. Apabila barang jaminan itu berupa barang tidak bergerak, seperti rumah dan tanah, cukup surat jaminan tanah atau surat-surat rumah itu yang dipegang oleh pemberi utang.
   Selain syarat-syarat tersebut, syarat lain yang perlu diperhatikan adalah qabdhal-marhun (barang jaminan dikuasai secara hukum). Syarat terakhir ini menjadi penting sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 283, bahwa barang jaminan itu dikuasai secara hukum (fârihûn maqbûdhatûn). Jika syarat tersebut terpenuhi, maka akad rahn dinyatakan sah.

2. Kafalah

a. Pengertian
     Kafalah dalam arti bahasa berasal dari kata: kafala, yang sinonimnya: dhamina (menanggung),adh-dhammu (mengumpulkan),hamalah(beban), dan za’amah (tanggungan). Secara istilah, sebagaimana yang dinyatakan para ulama fikih selain Hanafi, bahwa kafalah adalah menggabungkan dua tanggungan dalam permintaan dan hutang. Definisi lain adalah, Jaminan yang diberikan oleh penanggung (kâfîl) kepada pihak ketiga-pihak yang memberikan hutang/kreditor-(makfûl lahu) untuk memenuhi kewajiban pihak kedua-pihak yang berhutang/debitor-atau yang ditanggung (makfûl ‘anhu, ashil).Pada mulanya, kafalah adalah padanan dari dhamman, yang berarti penjaminan sebagaimana tersebut di atas. Namun dalam perkembangannya, Kafalah identik dengan kafalahal-wajhi (personal guarantee, jaminan diri), sedangkan dhamman identik dengan jaminan yang berbentuk barang/hartabenda. Konsep ini agak berbeda dengan konsep rahn yang juga bermakna barang jaminan, namun barang jaminannya dari orang yang berhutang. Ulama madzhab fikih membolehkan kedua jenis kafalah tersebut, baik diri maupun barang.



b. Dasar Hukum
       Dasar hukum untuk akad kafalah ini dapat dilihat di dalam al-Qur’ân, misalnya dalam surat Yûsuf [12]:66, yang artinya: “Nabi Ya’kub berkata: ‘Aku sekali-kali tidak akan melepaskannya (pergi) bersama-sama kamu, sebelum kamu memberikan kepadaku janji yang teguh atas nama Allah, bahwa kamu pasti akan membawanya kembali kepadaku…”. Pada ayat pun disebutkan, “Penyeru-penyeru itu berkata: ‘Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang Dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapbara Dalam salah satu hadits pun dikisahkan dari Jabir bin Abdullah ra. berkata: Kepada Nabi SAW pernah didatangkan sesosok jenazah agar beliau menshalatkannya. Lalu beliau bertanya, “Apakah ia punya hutang?” Para Sahabat berkata, “Benar, dua dinar.” Beliau bersabda, “Shalatkan teman kalian!” Kemudian Abu Qatadah berkata, “Keduanya (dua dinar itu) menjadi kewajibanku, ya Rasulullah.” Nabi saw pun lalu menshalatkannya (HR Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’I dan al-Hakim).
    Imam al-Bukhari meriwayatkan hadis ini dari Salamah bin al-Akwa’ dan disebutkan bahwa utangnya tiga dinar. Di dalam riwayat Ibn Majah dari Anu Qatadah, ia ketika itu berkata, “Wa ana attakaffaiu bihi (Aku yang menanggungnya),” Di dalam riwayat al-Hakim dari Jabir di atas terdapat tambahan sesudahnya: Nabi bersabda kepada Abu Qatadah, “Keduanya menjadi kewajibanmu dan di dalam hartamu sedangkan mayit tersebut terbebas?” Abu Qatadah menjawab, “Benar.” Lalu Nabi saw menshalatkan al-Haki
    Saat bertemu Abu Qatadah Rasul saw bertanya, “Apa yang telah dilakukan oleh dua dinar?” Akhirnya Abu Qatadah berkata, “Aku telah membayar keduanya, ya Rasulullah.” Nabi saw bersabda, “Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya.” (HR al-Hakim).Dalam hadits lain diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Hutang itu harus ditunaikan, dan orang yang menanggung itu harus membayarnya.” (HR Abu Daud dan Tirmidzi dan dishakhihkan oleh Ibni Hibban).




Dalam literatur fiqh, rukun kafalah terdiri atas:
1) Pihak penjamin/penanggung (kâfîl, dhamin, za’im), dengan syarat baligh (dewasa), berakal sehat, berhak penuh melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya, dan rela (ridha) dengan tanggungan kafalah tersebut.
2) PihakPihak yang berhutang/yang dijamin (makfûl ‘anhu, ‘shil, madhmun’anhu), dengan syarat sanggup menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada penjamin dan dikenal oleh penjamin.
3) PihakPihak yang berpiutang/yang menerima jaminan (makfûl lahu, madhmun lahu), dengan syarat diketahui identitasnya, dapat hadir pada waktu aqad atau memberikan kuasa, dan berakal sehat.
4) ObjekObjek jaminan (makfûl bih, madhmun bih), merupakan tanggungan pihak/orang yang berhutang (ashil), baik berupa utang, benda, orang maupun pekerjaan, bisa dilaksanakan oleh penjamin, harus merupakan piutang mengikat (luzim) yang tidak mungkin, hapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan, harus jelas nilai, jumlah, dan spesifikasinya, tidak bertentangan dengan syari’ah (diharamkan).
5) Lafadz, disyaratkan keadaan lafadz ijab dan kabul itu berarti menjamin.

c. Pembagian Kafalah
    Adapun macam-macam pembagian kafalah sebagai berikut.
1) Kafalah bin-nafs/Kafalah bil wajhi, adalah jaminan diri (personal guarantee) dari si penjamin (kâfîl). Sebagai contoh, dalam praktik perbankan untuk bentuk kafalah bin-nafs adalah seorang nasabah yang mendapat pembiayaan (murabahah) dengan jaminan nama baik seorang tokoh/pemuka masyarakat. Walaupun bank secara fisik tidak memegang barang apa pun, tetapi bank berharap tokoh tersebut dapat mengusahakan pembayaran ketika nasabah yang dibiayai mengalami kesulitan.
2) Kafalah bi al-mal (kafalah harta), adalah kewajiban yang harus ditunaikan oleh penjamin/kâfîl dengan pembayaran (pemenuhan) berupa harta atau pelunasan hutang orang lain. Sebagai contoh jaminanpelunasan hutang si mayit oleh Abu Qatadah (kafalah bi ad-dayn).
3) Kafalah bi al-taslim, adalah jaminan yang diberikan untuk menjamin pengembalian barang sewaan pada saat masa sewanya beakhir. Jenis pemberian jaminan ini dapat dilaksanakan oleh bank unutk keperluan nasabahnya(yang dijamin) dalam bentuk kerjasama dengan perusahaan penyewaan (penerima jaminan). Jaminan pembayaran bagi bank dapat berupa deposito/tabungan, dan pihak bank diperbolehkan memungut uang biaya administrasi kepada nasabah tersebut (yang dijamin oleh bank).
4) Kafalah al-munjazah, adalah jaminan yang tidak dibatasi oleh waktu tertentu dan untuk tujuan/kepentingan tertentu. Dalam dunia per-bankan, kafalah model ini dikenal dengan bentuk performance bond (jaminan prestasi).
5) Kafalah al-mu’allaqah, bentuk kafalah ini merupakan penyederhanaan dari kafalah al-munjazah, di mana jaminan dibatasi oleh kurun waktu tertentu dan tujuan tertentu pula.

d. Bentuk Kafalah
     Dalam pelaksanaannya, kafalah dilaksanakan dalam tiga bentuk, yaitu:
1) Munjaz atau Tanjiz adalah tanggungan yang ditunaikan seketika, seperti seorang berkata, “Saya tanggung si Ahmad dan saya jamin si Ahmad sekarang”; lafadz-lafadz yang menunjukkan al-kafalah me-nurut para ulama, seperti: Aku tanggung, atau Aku jamin, atau Aku tanggulangi, atau Aku sebagai penanggung untukmu, atau penjamin, atau hakmu padaku, atau Aku berkewajiban, atau kepadaku, ucapan itu semua sebagai pernyataan kafalah. Apabila kafalah sudah dinyatakan berlangsung, maka si penjamin mengikat pada hutang dalam penelesaian seketika itu juga atau ditangguhkan atau dicicil.
2) Muallak atau Ta’lik, adalah menjamin sesuatu dengan dikaitkan pada sesuatu, seperti seorang berkata “Jika kamu menghutangkan pada anakku, aku yang akan membayarnya.” Atau “Jika kamu ditagih oleh A, maka aku yang akan membayarnya.”
3) Muakkad atau Taukid adalah tanggungan yang harus dibayar dengan dikaitkan pada suatu waktu, seperti ucapan seseorang “Apabila ditagih pada bulan Ramadhan, aku yang menanggung pembayaran hutangmu.”









e. Hukum Kafalah
     Hukum Kafalah (menanggung seseorang) adalah boleh apabila orang yang di tanggung memiliki tanggung jawab atas hak Adami (menyangkut hak manusia). Misalnya, menanggung orang yang mendapat hukuman Qishash. Hukuman itu merupakan tanggungjawab yang hampir sama dengan tanggung jawab atas harta benda. Maksud menanggung disini adalah, menanggung orangnya agar tidak melarikan diri menghindari hukuman, bukan menanggung hukuman atas orang itu.Menanggung orang yang dihukum, akibat dosa terhadap hal Allah SWT yaitu hudud tidaklah sah.Hudud adalah sanksi terhadap suatu kemaksiyatan yang telah ditetapkan kadarnya oleh syara’ guna mencegah kemaksiyatan yang serupa. Misalnya, dihukum karena berzina, homoseksual, menuduh berzina, meminum khamar, murtad, pembegal, dan mencuri. Bahkan kita diperintahkan untuk menghalangi perbuatan-perbuatan tersebut serta memberantasnya sekuat tenaga. Nabi Saw , bersabda: “Tidak ada kafalah dalam had” (HR Al-Baihaqi).

    Jika orang yang ditanggung (yang akan dihukum) meninggal dunia, orang yang menanggung tidak dikenai hukuman hudud, seperti apa yang sedianya akan dijatuhkan kepada orang yang ditanggung. Ia tidak harus menggantikannya sebagaimana kalau menanggung harta benda. Apabila orang yang menjamin (dhamin/kâfîl) memenuhi kewajibannya dengan membayar hutang orang yang ia jamin, dan pembayaran itu atas perintah/izin makfûl ‘anhu. Maka ia boleh meminta kembali uang dengan jumlah yang sama kepada orang yang ia jamin (makfûl ‘anhu). Dalam hal ini keempat bersepakat. Namun mereka berbeda pendapat, apabila penjamin(kâfîl) sudah membayar hutang/beban orang yang ia jamin (makfûl ‘anhu) tanpa perintah/izin orang yang dijamin. Menurut as-Syafi’i dan Abu Hanifah bahwa membayar hutang orang yang dijamin tanpa izin darinya adalah sunnah, penjamin (kâfîl) tidak punya hak untuk minta ganti rugi kepada orang yang di jamin (makfûl ‘anhu). Contohnya seperti kasus Abu Qatadah ra. Yang membayar hutang si mayit. Menurut Mazhab Maliki,penjamin (kâfîl) berhak menagih kembali kepada orang yang dijamin (Al-Baihaqi).

      Berbeda dengan Ibnu Hazm, ia berpendapat bahwa kâfîl/dhamintidak berhak menagih kembali kepada orang yang dijamin (makfûl ‘anhu) atas apa yang telah dia bayarkan, baik dengan perintah /izin makfûl ‘anhu maupun tidak. Kecuali orang yang dijamin meminta diqardhunkan (aqad hutang ke penjamin). Dan itu berartu si penjamin boleh menagih kembali atas apa yang ia bayarkan.Menurut Adiwarman A. Karim, dilihat dari segi ada atau tidaknya kompensasi/keuntungan, fiqh muamalah terbagi menjadi dua bagian, yakni akad tabarru’ (akad kebaikan) dan akad tijarah (akad bisnis).30Akad tijarahadalah segala macam perjanjian yang bertujuan mencaru keuntungan, karena bersifat komersil, contohnya adalah akad jual-beli, murabahah, salam, istishna, ijarah (sewa-menyewa), musharakah, mudharabah.Sedangkan akad tabarru’ adalah segala macam perjanjian yang menyangkut not-for profit transaction (transaksi nirlaba). Transaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan komersil. Akad ini dilakukan dengan tujuan tolong-menolong dalam rangka berbuat kebaikan. Dalam akad ini, pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apa pun kepada pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru’ adalah dari Allah SWT., bukan dari manusia.Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta kepada counter-part-nya untuk sekedar menutupi biaya operasional administrasi (cover the cost) yang dikeluarkannya ketika melakukan akad tabarru’ terebut. Namun ia tidak boleh sedikit pun mengambil laba dari akad tabarru’ itu. Contoh akad-akad tabarru’ adalah pinjaman (qardh), gadai (rahn), pengalihan hutang-piutang (hiwalah), wakalah, penjaminan (kafalah), titipan (wadi’ah), hibah, waqaf, shadaqah, hadiah, dan lain-lain. Jika akad tabarru’ sudah disepakati, maka akad terebut tidak boleh diubah menjadi akad tijarah, karena dikhawatirkan terjadi riba jahiliyah. Sebaliknya, jika akad tijarah surah disepakati, maka akad tersebut boleh diubah menjadi akad tabarru’.
    
















B. Bunyi ayat dan Terjemahan

1. Qs. Al-Baqarah (2) : 283

وَإِن كُنتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا۟ كَاتِبًا فَرِهَٰنٌ مَّقْبُوضَةٌ ۖ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ ٱلَّذِى ٱؤْتُمِنَ أَمَٰنَتَهُۥ وَلْيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥ ۗ وَلَا تَكْتُمُوا۟ ٱلشَّهَٰدَةَ ۚ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُۥٓ ءَاثِمٌ قَلْبُهُۥ ۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

Terjemah Arti: Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.


2. Qs. Yusuf (12) : 72
قَالُوا۟ نَفْقِدُ صُوَاعَ ٱلْمَلِكِ وَلِمَن جَآءَ بِهِۦ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا۠ بِهِۦ زَعِيمٌ

Terjemah Arti: Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya".


C. Tafsir Mufradhat

1. Tafsir Quran Surat Al-Baqarah Ayat 283

 Tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah / Markaz Ta'dzhim al-Qur'an di bawah pengawasan Syaikh Prof. Dr. Imad Zuhair Hafidz, professor fakultas al-Qur'an Universitas Islam Madinah 283)
وَإِن كُنتُمْ عَلَىٰ سَفَر Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) ) Dalam ayat ini tertulis bagi yang dalam keadaan safar namun juga masuk dalam hukumnya semua halangan yang mengandung halangan yang ada pada safar yang berupa kesulitan untuk melakukan penulisan dan persaksian. وَلَمْ تَجِدُوا۟ كَاتِبًا( sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis) Yakni dalam safar kalian. فَرِهٰنٌ مَّقْبُوضَةٌ ۖ ( maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)) Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum barang tanggungan (jaminan) yang dipegang ini diperhitungkan sebagimana yang dijelaskan al-Qur’an sehingga tidak sah barang jaminan ini apabila belum dipegang oleh pihak kedua. Adapun Imam Malik berpendapat bahwa pemberian jaminan itu sah dengan adanya ijab dan qabul meski barang tersebut tidak atau belum diserahkan kepada pihak kedua. فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا ( Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain) Yakni rasa saling percaya ini mencukupi sebagai ganti dari barang jaminan. فَلْيُؤَدِّ الَّذِى اؤْتُمِنَ ( maka hendaklah yang dipercayai itu) Yakni orang yang berhutang. أَمٰنَتَهُۥ (menunaikan amanatnya) Yakni hutang yang menjadi tanggungannya. وَلْيَتَّقِ اللهَ رَبَّهُۥ ۗ ( dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya) Yakni dengan tidak mengingkari kewajibannya dalam hutang sedikitpun. وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُۥٓ ءَاثِمٌ قَلْبُهُۥ ۗ ( Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya) Yakni orang yang rusak yang tidak peduli akan terperosok dalam kemaksiatan, karena dengan menyembunyikan kesaksian dapat menghilangkan hak dari pemiliknya.

2. Tafsir Qur’an Surat Yusuf Ayat 72

Tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah / Markaz Ta'dzhim al-Qur'an di bawah pengawasan Syaikh Prof. Dr. Imad Zuhair Hafidz, professor fakultas al-Qur'an Universitas Islam Madinah.  (
قَالُوا Penyeru-penyeru itu berkata) Sebagai jawaban bagi mereka. نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ (Kami kehilangan piala raja) Yakni wadah yang digunakan sebagai takaran yang berbentuk piala. وَلِمَن جَآءَ بِهِۦ حِمْلُ بَعِيرٍ (dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta) Yakni mereka menjawab “barangsiapa yang dapat mengembalikannya maka baginya bahan makanan sepenuh muatan unta. وَأَنَا۠ بِهِۦ زَعِيمٌ (dan aku menjamin terhadapnya) Kemudian penyeru itu berkata “dan aku menjamin atas itu, yakni atas bahan makanan sepenuh muatan unta sebagai balasan bagi orang yang mengembalikan piala itu sebelum kami memeriksa wadah-wadah bahan makanan yang kalian bawa.


D. Asbab Al Nuzul

1. Asbabun Nuzul Q.S. Al-Baqarah ayat 283

Amanah adalah kepercayaan dari yang memberi terhadap yang diberi atau dititipi, bahwa sesuatu yang diberikan atau dititipkan kapanya itu akan akan dipelihara sebagaimana mestinya, dan pada saat yang menyerahkan memintanya kembali, maka ia akan menerima utuh sebagaimana adanya tanpa keberatan dari yang dititipi. Yang menerimapun menerimanya atas dasar kepercayaan dari pemberi bahwa apa yang diterimanya, diterima sebagaimana adanya, dan kelak si pemberi atau penitip tidak akan meminta melebihi apa yang diberikan atau disepakati kedua pihak.
Kepada para saksi, yang pada hakikatnya juga memikul amanah kesaksian, diingatkan, janganlah kamu, wahai para saksi, menyembunyikan persaksian, yakni jangan mengurangi, melebihkan, atau tidak menyampaikan sama sekali, baik yang diketahui oleh pemilik hak maupun yang tidak diketahuinya. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya.







2. Sebab-sebab diturunkannya (Asbabun Nuzul) QS. Yusuf  : 72

Dalam ayat ini dikisahkan bahwa Nabi Yusuf .as telah menjadikan bahan makanan seberat beban unta sebagai upah atau hadiah bagi siapa saja yang dapat menemukan dan menyerahkan piala raja yang hilang. Dalam bahasa indonesia hal ini sering digunakan istilah sayembara, karena pekerjaan untuk menemukan dan menyerahkan piala yang hilang itu bersifat terbuka, siapa saja yang mampu. Pekerjaan ini mungkin diusahakan oleh banyak orang, tetapi yang akan mendapatkan upah hanyalah orang yang berhasil menyelesaikan tugas dengan menyerahkan piala itu. Jika ada orang yang telah bekerja/berusaha untuk mendapatkan piala yang hilang, namun tidak berhasil, maka dia tidak berhak mendapatkan upah.


E. Hadits yang Terkait dengan Tema 

   bolehnya ad-dhamân atau al-kafâlah, diperbolehkan :
 عن سلمة بن الأكوع رضي الله عنه, قال: كنا جلوسا عند النبي صلى الله عليه وسلم, إذ أتي بجنازة, فقالوا: صل عليها, فقال: «? هل عليه دين», قالوا: لا, قال: «? فهل ترك شيئا», قالوا: لا, فصلى عليه, ثم أتي بجنازة أخرى, فقالوا: يا رسول الله, صل عليها, قال: «? هل عليه دين» قيل: نعم, قال: «فهل ترك شيئا?», قالوا: ثلاثة دنانير, فصلى عليها, ثم أتي بالثالثة, فقالوا: صل عليها, قال: «هل ترك شيئا?», قالوا: لا, قال: «فهل عليه دين? », قالوا: ثلاثة دنانير, قال:«صلوا على صاحبكم», قال أبو قتادة صل عليه يا رسول الله وعلي دينه, فصلى عليه 

Dari Salamah bin al-Akwa 'Radhiyallahu anhu beliau berkata, “Kami duduk-duduk disisi Nabi Shallallahu' alaihi wa sallam, tiba-tiba dibawakan jenazah seraya mereka meminta Dia Shallallahu 'alaihi wa sallam,' Shalatkanlah ini! ' Dia Shallallahu 'alaihi allam bertanya,' Apakah ia memiliki tanggungan hutang? ' Mereka menjawab, 'Tidak.' Lalu Dia Shallallahu 'alaihi wa sallam tanya lagi,' Apakah dia meninggalkan harta? ' Mereka menjawab, "Tidak." Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyhalati jenazah tersebut. Lalu didatangkan kembali jenazah yang lain dan mereka berkata, 'Ya Rasûlullâh! Shalatkanlah mayat ini! ' Dia Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya,' Apakah ia memiliki tanggungan hutang? ' Mereka menjawab, “Ya” Dia mengaku Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya lagi,' Apakah dia meninggalkan harta? ' Jawab mereka, 'Ya. Dia meninggalkan harta 3 dinar. ' Lalu didatangkan kembali jenazah yang ketiga dan mereka berkata, 'Ya Rasûlullâh! Shalatkanlah mayat ini. Dia Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya,' Adakah dia meninggalkan harta? ' Mereka menjawab, 'Tidak'. Dia Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya,' Apakah ia memiliki tanggungan hutang? ' Mereka menjawab, 'Ya, utang 3 dinar.' Dia Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Shalatkanlah teman kalian itu." Abu Qatâdah Radhiyallahu anhu berkata, “Shalatilah dia! Wahai Rasûlullâh! Saya yang mendukung utangnya! ' Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyhalatinya ”. [SDM. Al-Bukhâri, an-Nasâ'i dan Ahmad]



F. Rincian Tafsir

QS Al-Baqarah 283
        
         Jika kalian sedang dalam perjalanan dan tidak ada yang dapat mencatat utang, maka jaminannya berupa barang yang diperoleh pihak yang mengutangi dari pihak yang berutang. Kalau seseorang menitipkan sesuatu kepada orang lain sebagai amanat, dan ia dipercayakan untuk itu, maka orang yang diamanatkan harus menyerahkannya saat diminta. Dan hendaknya ia takut kepada Allah yang memelihara dan mengawasinya, sehingga nikmat-Nya di dunia dan akhirat tidak diputus. Janganlah menyembunyikan keterangan atau persaksian ketika diminta. Dan barangsiapa menyembunyikannya, maka ia adalah orang yang berdosa dan buruk hati. Allah Maha Mengetahui segala apa yang kalian lakukan. Dan Dia akan memberi balasan sesuai hak kalian.

QS Yusuf 72

         (Penyeru-penyeru yang mengatakan, "Kami kalah piala) teko (raja dan bagi siapa pun yang dapat mengembalikannya akan menerima hadiah seberat beban unta) yang terdiri dari bahan makanan (dan aku terhadapnya) tentang hadiah itu (menjadi penjamin.") Yang disebutnya


G. Istinbath Ahkam

   Istinbath QS Yusuf : 72
1. Orang mukmin wajib memenuhi akad atau kontrak yang telah disepakati, selama tidak bersepakat dalam perbuatan dosa
2.   Menentukan hadiah guan menumbuhkan semangan persaingan dan mendorong orang-orang untuk melakukan pekerjaan yang konstrukti, merupakan sesuatu yang diterima oleh Allah dan sunnah para nabi










BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

    Rahn menurut ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah adalah menjadikan barang sebagai jaminan hutang yang dapat dijadikan pembayaran hutang apabila orang yang berhutang tidak bisa membayar.
    Secara hukum Rahn diperbolehkam hal tersebut terdapat dalam Surah Al-Baqarah ayat 283 dan dalam Hadits riwayat Bukhori yang diriwayatkan dari Anas r.a, 
    Rukun Rahn menjadi sah apabila telah memenuhi syarat : (1) Orang yang berakar adalah orang yang cakap bertindak hukum, (2) Shigat (lafal) tidak dibarengi syarat tertentu, (3) Memenuhi syarat hutang (al-marhum bihi), (4) Memenuhi syarat barang yang dijadikan jaminan (al-marhum).

    Kafalah menurut para ulama fikih selain Hanafi, bahwa kafalah adalah menggabungkan dua tanggungan dalam permintaan dan hutang.
    Secara hukum Kafalah diperbolehkan sebagaimana yang terdapat dalam surah Yusuf ayat 72 dan hadits yang diriwayatkan Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’I dan al-Hakim
    Rukun Kafalah (1) Pihak penjamin/penanggung (kâfîl, dhamin, za’im), dengan syarat baligh (dewasa), berakal sehat, (2) Pihak Pihak yang berhutang/yang dijamin (makfûl ‘anhu, ‘shil, madhmun’anhu), (3) PihakPihak yang berpiutang/yang menerima jaminan (makfûl lahu, madhmun lahu), (4) ObjekObjek jaminan (makfûl bih, madhmun bih), (5) Lafadz, disyaratkan keadaan lafadz ijab dan kabul itu berarti menjamin.

B. Saran

        Meskipun kami menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini akan tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu kami perbaiki. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan kami. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat kami sebagai penulis harapkan sebagai bahan evaluasi untuk kedepannya.





DAFTAR PUSTAKA

1. Journal.uinjkt.ac.id, 2016, JAMINAN DALAM PEMBIAYAAN SYARI'AH (KAFALAH DAN RAHN) http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/kordinat/article/view/6332.
2. irishentia90.blogspot.com, Sabtu, 04 Juni 2016, Makalah Gadai (Rahn), http://zezameirisenthia90.blogspot.com/2016/06/makalah-fiqh-muamalah-gadai-rahn.html?m=1.
3. tafsirweb.com, Qur'an Surat Yusuf 72,  https://tafsirweb.com/3810-quran-surat-yusuf-ayat-72.html.
4. hasanannarfani.blogspot.com, Mei 21 2019, Makalah Tafsir Ayat Ekonomi II Tafsir Q.S Yusuf 72 (Kafalah) oleh Hasan Arfani IAIN Metro, http://hasanarfani.blogspot.com/2019/05/makalah-tafsir-ayat-ekonomi-ii-tafsir.html?m=1
5. bukanmakalah.blogspot.com, Rabu, 30 DESEMBER 2015, Makalah, http://bukanmakalah.blogspot.com/2015/12/v-behaviorurldefaultvmlo.html?m=1
6. almanhaj.or.id, Dhamman atau Kafalah, https://almanhaj.or.id/6999-dhaman-atau-kafalah.html
7. tafsirq.com, 2015-2020, surat Al-Baqarah 283, https://tafsirq.com/2-al-baqarah/ayat-283#tafsir-quraish-shihab
8. tafsirq.com, 2015-2020, surat Yusuf 72, https://tafsirq.com/12-yusuf/ayat-72#tafsir-jalalayn
H

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hero Baru ML 2020, Chong Black Dragon Fighter 4 Skill!!!

Tanggal rilis hero Popol & Kupa di Original Server Mobile Legend 2020

Makalah Strategi Perusahaan Makanan Instan Bakso Aci